Dunia industri dan pasar selalu mengejar efisiensi dalam semua aspek operasinya. Contohnya, pada awalnya manusia mengolah pertanian, hanya digunakan cangkul. Tapi kemudian memakai kerbau, lalu masyarakat yang lebih modern menggunakan traktor, dan bahkan sekarang diciptakan sistem komputerisasi untuk keperluan ini.
Revolusi industri pada satu abad yang lalu membuat teknologi menjadi lebih efektif dalam mendukung hidup manusia. Sementara itu, dimulai beberapa periode yang lalu, revolusi di bidang teknologi informasi menjadikan komunikasi lebih mudah dan murah. Dan sekarang, masyarakat di seluruh dunia berlomba-lomba mencari bagaimana merevolusi penggunaan energi.

“Sumber energi semakin langka, sedangkan permintaan terus bertambah. Ini membuat masyarakat harus mengubah pola penggunaan energinya,” kata Luluk Sumiarso, Direktur Indonesian Institute for Clean Energy (IICE). Hal ini terungkap pada Pekan Efisiensi energi Wilayah DKI Jakarta, di Hotel Park Lane Jakarta, Selasa, 9 Agustus 2011.

Dikatakan Luluk, 90 persen energi yang dikonsumsi di Indonesia merupakan energi fosil. Sayangnya cadangan energi fosil di Indonesia kian menipis. Cadangan minyak bumi diperkirakan akan habis 25 tahun mendatang. Dan kurang dari 100 tahun lagi untuk energi fosil yang lain.

Kini negara menghadapi 3 buah isu serius. “Selain sumber energi yang kian menipis, terdapat masalah pada harga energi yang fluktuatif dan perubahan iklim. Kita (masyarakat Indonesia) perlu menghadapi berbagai resiko ini dengan efisiensi energi,” ujar Luluk.

Caranya, menurut Luluk, dimulai dengan perubahan paradigma. “Sebelum bisa mengubah business-as-usual, perlu mengubah paradigm-as-usual. Harus mengubah bagaimana cara berpikir,” ucapnya.

Perubahan paradigma ini penting karena selama ini Indonesia menggunakan energi fosil yang menyerap subsidi begitu besar. Bahkan begitu besarnya subsidi energi ini sampai mengalahkan anggaran untuk kesehatan dan pendidikan.

Kunci untuk hal ini ada dua. “Konservasi energi dan memanfaatkan energi terbarukan,” ujarnya. Paradigma terhadap energi terbarukan pun perlu diubah. Dari semula sebagai energi alternatif, kini harus menjadi fokus bersama.

Efisiensi energi adalah menggunakan energi yang lebih sedikit untuk memperoleh hasil yang sama atau bahkan lebih besar. Efisiensi energi, menurut Luluk, merupakan pilihan yang rendah resiko, minim biaya, dan mempunyai keuntungan jangka panjang. “Dengan memperoleh hasil lebih dari energi yang lebih rendah, perusahaan dapat menghemat biaya operasional dan memperbesar bottom line (keuntungan, red.),” ungkap Luluk.

Terdapat 4 keuntungan yang bisa didapatkan oleh perusahaan dari efisiensi energi. Pertama adalah keuntungan karena ongkos operasional berkurang. Kedua, keuntungan akibat kesejahteraan pegawai meningkat. Ketiga, keuntungan dari produktifitas yang semakin tinggi. Terakhir, perusahaan akan menarik minat para pencari kerja berbakat masa kini yang umumnya mencari lingkungan kerja yang peduli dengan keberlanjutan (sustainability).

Dari sisi penghematan ongkos operasional, dicontohkan Luluk, perusahaan Singapore Oxygen Air Liquid Ltd. mengubah prosedur dengan mematikan chiller ketika tidak digunakan. Kebijakan ini mampu menghemat 2.160 megawatt, atau sekitar 324 ribu dollar Singapura (sekitar Rp 2,27 miliar dengan kurs Rp 7.000 per satu dollar Singapura).

Langkah kedua, efisiensi energi untuk meningkatkan kesejahteraan contohnya adalah dengan memaksimalkan cahaya alami di kantor. “Banyak perubahan perilaku dalam efisiensi energi tidak hanya menghemat uang karena menggunakan energi lebih rendah, tetapi juga karena produktifitas meningkat.”
Sebuah studi menunjukkan bahwa hal ini akan membuat pekerja lebih betah. Sehingga pada gilirannya akan memperbaiki tingkat kehadiran pekerja, mencegah kecelakaan, meningkatkan produktifitas, dan memperbaiki kondisi psikologis.

Contohnya di perusahaan Lockheed Martin, Amerika Serikat. Penggunakan cahaya alami mampu memperbaiki tingkat kehadiran pekerja sebanyak 15 persen, meningkatkan produktifitas sebesar 15 persen, dan membantu perusahaan memenangkan kontrak pembuatan alat pertahanan senilai 1,5 miliar USD.

Sementara itu, manfaat berupa peningkatan produktifitas dapat diperoleh dengan mengatur temperatur ruangan. Sebuah studi yang dilakukan oleh Cornell University menemukan bahwa meningkatkan temperatur ruangan dari 20 ke 25 derajat Celcius akan memperbaiki kinerja perusahaan. Kesalahan penulisan berkurang sebesar 44 persen, dan kualitas hasil penulisan meningkat sebanyak 150 persen. Akibatnya, perusahaan akan bisa menghemat sekitar 2 USD per jam untuk masing-masing pekerja.

Manfaat terakhir, banyak perusahaan kini mencoba memenangkan perekrutan pekerja berbakat dengan menawarkan sistem kerja yang peduli dengan isu-isu lingkungan. Bahkan, kini pembeli pun semakin peduli dengan isu ini. The Body Shop adalah salah satu contoh perusahaan yang sukses karena para pelanggannya tertarik pada nilai-nilai perusahaan yang menghargai lingkungan.

Meski demikian, Luluk mengakui bahwa agar mempunyai dampak yang luas, dibutuhkan upaya yang besar dan terus-menerus agar efisiensi energi menjadi budaya. Mengingat efisiensi energi tidak terlepas dari energi terbarukan, dia mengajak agar semua pihak bekerjasama.

Dari sisi finansial, biaya investasi rata-rata yang dihabiskan untuk melakukan upaya efisiensi energi adalah sekitar 300 USD per kilowatt listrik yang dihemat. Biaya ini termasuk untuk menyewa auditor energi, menyiapkan sumber daya manusia, dan konstruksi (pembelian alat-alat baru).

“Namun demikian, biaya untuk efisiensi energi masih lebih murah dibandingkan jika harus membangun pembangkit listrik baru untuk memenuhi permintaan akan energi. Umumnya, sebuah pembangkit listrik minimal membutuhkan biaya investasi sebesar 1.600 USD per kilowatt,” kata Totok Sulistiyanto, Konsultan EINCOPS (Energy Efficiency and Conservation Clearing House Indonesia).

Integrated design process

integrated-design-processTotok menekankan pentingnya perubahan dalam pola perencanaan bangunan. “Biasanya arsitek merancang desain bangunan, dan kemudian diserahkan kepada konsultan lain untuk menghitung berbagai aspek teknis. Cara ini akan membuat bangunan memiliki performa yang tidak baik,” ujarnya.

Cara yang benar, menurut Totok, adalah arsitek bersama konsultan teknik dari teknik sipil, mekanikal, elektrikal, energi, dan lain-lain sejak awal duduk bersama merancang bangunan. “Konsep ini dinamakan integrated design process,” ungkapnya. Proses ini perlu diperhatikan agar detail-detail penting dalam desain bangunan hemat energi bisa diakomodasi dengan baik.

Luluk Sumiarso
Sumber : Majalah Energi Edisi 11 – September 2011